BogorOne.co.id | Kota Bogor – Wali Kota Bogor Bima Arya geram atas pengerjaan proyek pembangunan Jembatan Warung Pala di Jalan Tajur Gang Warung Pala, Kelurahan Muarasari, Kecamatan Bogor Selatan yang diprediksi akan mangkrak.
Sesuai kontrak, pengerjaan jabatan tersebut dimulai pada awal Mei hingg 23 Agutus 2023 dan hanya menyisakan waktu sekitar 8 hari, namum proyek senilai Rp707 juta itu belum selesai dan menyisakan deviasi negatif 10 persen.
Menyikapi hal itu, Wali Kota Bogor Bima Arya menegaskan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Bogor sudah melayangkan Surat Peringatan (SP) 2 kepada kontraktor, yakni CV Hadikarya Nusantara.
“Bermasalah sekali, terlalu jauh deviasi-nya. Tapi pasti ada persoalan hukum disini kalau tidak selesai. Termasuk kami peringatkan, (bisa) diblacklist,” kata Bima, Senin 14 Agustus 2023.
Ia juga berjanji akan mengcek langsung ke lokasi proyek Jembatan Warung Pala, Muarasari. “Kami akan ke sana, tapi sebelum kesana kami akan peringatkan untuk mengawasi agar mereka sesuai target. Nanti akan ditinjau, dicek khusus oleh saya,” ujarnya.
Sementara Kepala Dinas PUPR Kota Bogor, Rena Da Frina juga membenarkan bahwa proyek pembangunan jembatan Kelurahan Muarasari, Kecamatan Bogor Selatan mengalami keterlambatan dan bermasalah.
Menurut dia, proyek tersebut mengalami deviasi negatif diatas 10 persen. Dan menurutnya kontraktor beralasan bahwa faktor persoalan internal dan cuaca buruk jadi kendala keterlambatan.
Pihaknya sudah melayangkan teguran kedua atau SP 2 kepada kontraktor proyek Jembatan Warung Pala.
“Sudah teguran pertama awalnya. (Proyek Jembatan Warung Pala) Muarasari lambat dan deviasinya sudah diatas 10 persen negatif,” tandas dia.
Dia menegaskan, alasan keterlambatan pekerjaan, ada masalah di internal mereka hingga faktor hujan.
“Saya tidak terima kalau alasanya hujan, harusnya ketika mengambil proyek di Kota Bogor, sudah tahu dan memprediksi (cuaca hujan). Hitunganya sudah jelas, kalau Kota Bogor itu kota hujan,” uja dia.
Rena meminta kepada pelaksana proyek agar melakukan akselerasi dan meminta untuk mengganti metode pengerjaan, karena batas waktunya sampai Agustus.
“Kami buat seperti mini schedule. Kalau nggak keburu, harus buat deviasi lebih kecil dari negatif 10. Jika deviasi masih diatas negatif 10 persen setelah dilayangkan SP2, ya putus kontrak,” tegasnya
Ia menjelaskan, langkah putus kontrak merupakan opsi terakhir karena dianggap kemungkinan terburuk yang harus diambil Dinas PUPR.
“Kami mau kasih efek jera agar tak main-main dalam proyek ini. Mau berapa pun besaran proyek itu tanggungjawabnya sama yakni kepentingan untuk warga,” tandas dia. (Fry)
Discussion about this post