BogorOne.co.id | Bandung – Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, kembali digelar di Taman Wisata Gunung Tangkuban Parahu dengan tema yang diangkat pada upacara adat tatar Sunda kali ini adalah, “Jampe Buhun Laku Kamanusaan”, Minggu (25 Juni 2023).
Untuk acara tahun ini, linggih Ki Lurah Semar, berupa wayang kulit setinggi 6 meter dan turut hadir dalam kesempatan tersebut, warga adat Baduy (Kanekes), Mataraman, Jawa banyumasan.
Sementara Bali mengirimkan 30 anggota Pinandita Sanggrahan Nusantara yang menghubungkan “Upacara Panarisudha Bhumi Bali” di Renon Bali 18 Juni 23 dengan “Upacara Ngertakeun Bumi Lamba” ini.
Dayak kalimantan, Minahasa, Dayak Sagandu (indramayu), Nias, Karo, Batak, kebudayaan lainnya yang tersebar di Nusantara, juga keagamaan Islam, Kristen, Hindu, Budha & Konghucu dari Manca Negara, Thailand, Pakistan, Kanada dan Amerika.
Upacara adat Ngertakeun Bumi Lamba, merupakan salah satu pesan dari para leluhur yang menitipkan tiga gunung dan harus diperlakukan sebagai tempat suci yaitu Gunung Gede, Gunung Wayang dan Gunung Tangkuban Parahu.
Upacara mensucikan gunung ini melambangkan, bagaimana gunung menjadi sumber kesejahteraan semua makhluk di sekitarnya, mempertemukan mereka yang menjalankan nilai spritual leluhur, melalui harmoni yang menembus sekat pembeda, agar bersama-sama Ngertakeun Bumi Lamba.
Upacara ini adalah bentuk aplikasi pesan moral yang terkandung di dalam naskah Sunda kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Hal ini tercantum dalam naskah Sunda kuno, tahun 1440 Saka (1518 M), diperkirakan ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, raja Pakuan Pajajaran yang memerintah pada tahun 1482-1521 M.
Isi dari naskah tersebut secara umum, gambaran tentang pesan moral, untuk kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai ilmu yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan sehari-hari dan penuturannya berpijak pada kehidupan di dunia dalam negara.
Aturan yang terdapat dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, terdiri atas tiga bagian utama yaitu; bagian pertama pembuka yang menjelaskan 10 aturan (Dasa Kreta & Dasa Perbekti), kedua perilaku hulun (Karma Ning Hulun) terhadap raja dalam negara, bagian ketiga pelengkap perbuatan (Pangimbuh Ning Twah).
Upacara selalu digelar saat posisi matahari beredar di utara menuju selatan dan selalu di hari minggu atau Radite (Ra= Matahari, Dite = Hari) atau Sun-Day karena berdasarkan siklus gerak bumi-matahari.(Ir-v)
Discussion about this post