BogorOne.co.id | Kota Bogor – Konotasi negatif terhadap politik rupanya sudah sampai kerana akademik, sehingga politik menjadi salah satu topik yang konsen dibahas dalam kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) yang diselenggarakan oleh PMKRI Cabang Bogor, Kamis (01/12/22).
Demisioner Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Bogor Mayo De Quirino mengatakan, berbicara tentang politik mungkin langsung berpikir tentang kebohongan, mafia, manipulasi atau sejenisnya.
“Politik yang awal mula dikenal sebagai suatu hal yang mulia, yaitu dengan tujuan untuk kepentingan bersama, kini mengalami pergesaran makna menjadi konotasi negatif dan bahkan menjadi alergi bagi beberapa kalangan masyarakat,” katanya.
Dia menjelaskan, bahwa dirinya melakukan penelitian kecil-kecilan, dengan bertanya kepada satu-persatu kepada peserta, mengenai bagaiamana pendapat mereka tentang politik.
Menurut dia, bahwa semua peserta menjawab bahwa politik berkonotasi negatif. Peserta menyampaikan dengan gaya bahasa mereka masing-masing tentang arti politik.
Masih kata dia, dalam kehidupan sehari hari-hari, sesungguhnya setiap orang berpolitik, yaitu bagaimana cara untuk bertahan hidup, bagimana cara untuk istri tetap tersenyum walaupun tidak punya uang atau bagimana anak kos dapat bertahan hidup dengan modal 500 ribu per bulan. “Ini adalah bagian dari politik,” jelasnya
“Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk kebaikan bersama. Poin penting dalam defenisi diatas adalah untuk kepentingan bersama yang lebih besar bukan kepentingan pribadi atau golongan,” tambahnya.
Pada zaman Yunani Kuno para filsuf juga berpolotik yaitu dalam upaya untuk menyampaikan kebenaran dan pengetahuan, kemudian pengetahuan tersebut terus berkembang sampai saat ini. Maka tidak bisa di pungkiri pengetahuan tersebut sangat bermanfaat bagi keberlangsungan peradaban saat ini.
Dijelaskannya, bahwa politik juga berkaitan erat perumusan dan pelaksaan kebijakan publik. Seperti yang kita ketahui kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak terlepas dari politik.
Keberhasilan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka membuktikan bahwa pendiri bangsa kita memanfaatkan politik untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
“Bersadarkan uraian diatas kita dapat melihat betapa mulia keberadaan politik untuk keberlangsungan hidup manusia. Namun kehadiran politisi yang menerapkan cara instan untuk mencapai tujuan busuknya, sungguh merusak kata politik,” ungkapnya.
Dia memaparkan, perdebatan politik yang di lakukan elite politik semakin tidak substansial yang kemudian mengedepankan sensasional juga sangat merehsakan.
Adapaun rutinitas melanggar undang-undang setiap empat tahun sekali, yang dilakukan oleh beberapa bakal calon yaitu menerapkan politik uang. Dimana setiap bakal calon
mempengaruhi masyarakat untuk memilih mereka, dengan imbalan berupa uang maupun barang yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
“Praktik ini kemudian mengkristal dan telah menjadi budaya bagi rakyat Indonesia, belum cukup di money politic, bahkan para bakal calon juga kerap kali menerapkan politik identitas,” ujarnya.
Menurutnya, indentintas dipolitsasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan mendapatkan dukungan
dari orang-orang yang merasa ‘sama’ baik secara ras, etnis, agama, golongan, dan lain-lainya.
“Tindakan tidak bermoral semacam ini tentunya sangat berbahaya bagi keberlangsungan peradaban
masyarakat Indonesia juga dapat berdampak buruk bagi keharmonisan kehidupan bermasyarakat,” jelas dia.
Bahkan dia berpendapay, kegaduhan ditengah masyarakat, merupakan hasil dari politik adu domba yang dilakukan oleh para elite politik dan bahkan bisa terjadi perang saudara.
“Mahasiswa sebagai agen perubahan harus mampu membenahi diri baik secara intelektual,moral dan etika, agar tindakan amoral semacam ini tidak akan terjadi lagi dalam peradaban politik
Indonesia,” tandasnya. (*)
Discussion about this post