BogorOne.co.id | Kota Bogor – Memperingati Hari Buruh 1 Mei 2023, Komunitas Mahasiswa Universitas Terbuka (UT) Bogor melalui UKM Advokasi yang dikomandoi Rafy Billy Pratama gelar diskusi publik membedah untung rugi Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan dengan tema “Oligarki Untung Buruh Buntung”
Kegiatan tersebut digelar di Cababa Caffe Gunung Batu Kota Bogor dengan menghadirkan narasumber Sekjen DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Dr. Abdul Haris Maraden dan Ketua HMI MPO Bogor Irfan Yoga, Minggu 30 April 2023.
Haris Maraden mengatakan, bahwa dinamika mengenai perjalanan UU Cipta kerja ini adalah bagian dari proses demokrasi yang menunjukkan bahwa dinamika politik maupun kekuatan “civil society” dan elemen-elemen bangsa telah menuju proses yang lebih dewasa.
Walaupun banyak hal dalam UU Cipta Kerja yang tidak menyetujui sebagai sisi pekerja, namun hal itu harus disikapi dewasa menerima fakta bahwa UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
“Tinggal bagaimana kita mengawal proses pembuatan aturan turunan dari UU tersebut dalam PP tidak semakin merugikan pekerja, sehingga konsen kita ke depan adalah memberikan masukan konstruktif pada pemerintah,” kata Haris.
Dirinya menyampaikan bahwa kaum pekerja telah mengalami banyak kemunduran dengan UU baru tersebut, maka selayaknya pemerintah dengan tegas dan serius mengawasi pelaksanaan UU ini dengan ketat. “Pastikan penerapan sanksi sesuai UU ini dilaksanakan dan memihak pada keadilan,” ungkapnya.
Selanjutnya Haris menjelaskan, ditinjau dari sisi lain bahwa apakah UU ini efektif dalam menciptakan iklim investasi yang baik atau tidak, menurut dia bahwa angka ketetampungan angkatan kerja pada dunia kerja sesuai data BPS tahun 2021 meningkat sebesar 2,596 juta dan tahun 2022 meningkat lagi sebesar 4,246 juta.
“Segitu dalam kondisi krisis covid dan masa recovery masa krisis covid, sementara tahun 2019 hanya meningkat 2,473 juta sebelum ada masa covid, dan saat covid melanda tahun 2020 anjlok sampai minus 0,301 juta, itu menunjukkan bahwa UU ini mengarah kepada yang efektif, walaupun masih harus menunggu 2 sampai tiga tahun ke depan untuk memastikannya,” jelasnya.
Dijelaskan Sekjen PPMI itu, bahwa dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan ada beberapa pasal dalam beberapa UU yang berubah dalam UU nomor 6 tahun 2023 yaitu (1) UU nomor 13 tahun 2OO3 tentang Ketenagakerjaan (2) UU nomor 40 tahun 2OO4 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (3) UU nomor 24 tahun 2O11 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan (4) UU nomor 18 Tahun 2O17 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Jadi, dalam komposisi perubahan undang-undang nomor 13 tahun 2023 ke undang-undang nomor 6 tahun 2023 itu ada 27 pasal dihapus, 33 pasal berubah teks serta ada 8 pasal tambahan/sisipan. Selanjutnya dalam yang dihapus, ditambah dan disipkan tersebut yang dirasakan substansial bagi pekerja ada 17 pasal dan dari yang substansial itu 12 pasal merugikan pekerja dan 5 pasal menguntungkan pekerja,” katanya.
Dia melanjutkan, untuk pasal 42 yang berubah itu, di undang-undang lama, kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Lalu di undang-undang baru ditambahkan, tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
“Jadi memang banyak pasal-pasal yang kami nilai rentan disalahgunakan, misalnnya standar berapa lama masa kerja bagi perusahaan start-up (rintisan) bebasis teknologi tidak jelas, dan standar berbasis teknologi itu apa dan ini akan rentan disalahgunakan,” tegasnya.
Lalu untuk pasal 43 yang dihapus yakni, rencana penggunaan tenga kerja asing tidak dibutuhkan lagi, dan aturannya menjadi tidak jelas. Selain itu juga pasal 56 yang berubah.
“Disitu ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam peraturan pemerintah (PP),” tambahnya.
Lalu pasal lainnya yang berubah adalah pasal 59 mengenai PKWT diatur dalam PP sedangkan sampai saat ini belum ada PP yang mengatur pasal itu.
“Ini juga menjadi kisruh dalam pelaksanaan, dan kerap digunakan sebagai celah mencurangi pekerja, ketentuan maksimal 2 tahun kontrak disini maksimal perpanjangan satu kali kontrak satu tahun menjadi hilang,” tuturnya.
Selanjutnya pasal yang di hapus, misalnya pasal 65 mengenai pemborongan pada perusahaan lain dihilangkan tetapi tidak dilarang, dan dapat dilakukan pada pekerjaan apa saja. Ditambah pasal 78 yang mengatur mengenai lembur 3 jam sehari dan 14 jam seminggu.
“Lembur 4 jam sehari dan 18 jam seminggu, riset-riset terdahulu menunjukkan optimal lembur 3 jam, setelah itu produktifitasnya menurun. Terus pasal 79 yang berubah adalah hak isirahat panjang per 6 tahun kerja selama 2 bulan menjadi hilang, diatur dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan,” ungkapnya.
Ketentuan lainnya adalah di pasal 88 yang mengatur tentang penentuan UMK menggunakan KHL menjadi hilang sehingga objectivitas standarisasi UMK menjadi berkurang. Persoalan lainnya juga muncul di pasal 92 yang berubah yakni skala upah akan diatur kembali dalam PP.
Sedangkan di pasal 92 ada tambahan, yakni pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas serta di pasal 154 ada tambahan yakni banyak yang merugikan sisi pekerja dan menguntungkan pengusaha.
Persoalan lainnya lanjut Haris, ketentuan pasal 58 di undang-undang baru yang dirubah adalah dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Ada tambahan di pasal 61 antara lain, ada uang kompensasi dalam berakhirnya PKWT diatur dalam PP, sementara belum ada PP nya, pasal 64 alih daya diatur dalam PP dan PPnya belum ada.
“Terus pasal 66 mengenai perijinan alih daya diatur dalam PP itu juga belum ada PP nya dan terakhir pasal 157 yang mengatur mengenai selama masa perselisihan hubungan industrial, buruh tetap bekerja dan pengusaha wajib membayarnya, ini menguntungkan pekerja,” tandas dia. (Fry)
Discussion about this post